12 Mei, 1998
mengenang Elang
Mulya, Hery Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan
Empat
syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan,
telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda
pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban
hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa
telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan
ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat
telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri,
karena kalian berani
mengukir alfabet pertama dari
gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah Putih yang
setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri
karena angin lama
bersembunyi,
Tapi peluru
logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam,
karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta darai
Tuhan
(Taufik Ismail)
Latar Belakang
Penyair
Taufik
Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 juni 1935.
Penyair yang menulis ;Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999), ia adalah pendiri
majalah sastra, Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968). Taufik
Ismail, merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia,
Bogor, sekarang adalah IPB, berobsessi mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah
menengah dan Perguruan Tinggi.
Karya-karya Taufik Ismail telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan
puisinya yang telah diterbitkan, antara lain: Manifestasi (1963; bersama
Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya
memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Buku Tamu
Musem Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990),
Tirani dan Benteng (1933), dan Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
Bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, Taufik juga
menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama
dalam Islam. Sedangkan bersama D.S.Meoljanto, salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan, menyunting Prahara Budaya
(1994).
Cita-cita menjadi sastrawan, telah tertanam sejak
taufik duduk di bangku SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Kala itu, dia sudah
mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. “Sejak
SMA sayaa memang telah berminat pada dunia sastra,” kata Taufik yang memang
dibesarkan di lingkungan keluarga yang suka membaca.
Kegemaran membacanya makin terpuaskan, ketika Taufik
menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia di Pekalongan. Sambil
menjaga perpustakaan, dia pun leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya
Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. Dia tidak hanya membaca buku
sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama.
Kesukaan membacanya, tanpa disadari membuatnya
menjadi mudah dan suka menulis. Ketertarikannya pada sastra semakin tumbuh
tatkala dia sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS. Dia
mendapat kesempatan sekolah di situ, berkat beasiswa program pertukaran pelajar
American Field Service International Scholarship. Di sana dia mengenal karya
Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Dia sangat menyukai novel
Hemingway The Old Man and The Sea.
Taufik menikah dengan Esiyati tahun 1971. Mereka di
karuniai satu anak, yang diberinya nama Abraham Ismail.
Riwayat
Pendidikan
Sekolah
Rakyat di Semarang
SMP
di Bukittinggi, Sumatera Barat
SMA
di Pekalongan Jawa Tengah
SMA
Whitefish Bay di Mikwaukee, Wisconsin, AS
Fakultas
Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963
Karir
Penyair
Pendiri
Majalah Horison (1966)
Pendiri
Dewan Kesenian Jakarta (1968)
Redaktur
Senior Horison dan Kolumnis (1966-sekarang)
Wakil
General Manager Taman Ismail Marzuki (1973)
Ketua
Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
Kegiatan
Lain
Dosen
IPB (1962-1965)
Dosen
Fakultas Psikologi UI (1967)
Sekretaris
DPH-DKI (1970-1971)
Manager
Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978)
Ketua
Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985)
Penghargaan
American
Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High
School di Milwaukee, AS (1956-1957)
Anugerah
Seni Pemerintah RI pada 1970
SEA
Write Award (1997)
Analisis
Karya sastra merupakan dokumen sosial. Pikiran ini
juga sesuai dengan pikiran Marx dan Engels yang menyatakan bahwa sastra merupakan
cermin masyarakat dengan berbagai cara. Puisi yang berjudul “12 Mei, 1998”
merupakan rekaman dari penyairnya sendiri yaitu Taufik Ismail. Taufik Ismail
merekam dengan sangat baik sebuah peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia
pada tahun 1998. Peristiwa itu adalah Tragedi Trisakti, tertembaknya mahasiswa
Universitas Trisakti waktu mereka mengadakan demonstrasi, hingga peristiwa ini
memicu munculnya Orde Reformasi.
Puisi ini juga menggambarkan bahwa penyairnya adalah
seseorang yang memiliki jiwa muda, karena puisi ini berisi protes sosial. Di
dukung dengan kejadian peristiwa pada tahun 1998, puisi ini benar-benar lengkap
akan sebuah potret sosial yang
dipaparkan oleh penyairnya, pada intinya Taufik Ismail di sini memberikan
sebuah realitas yang mendalam pada puisinya. Tidak dapat dielakkan bahwa karya
sastra merupakan bentuk persepsi dan memiliki relasi dengan cara memandang
realitas yang menjadi ideologi sosial suatu zaman.
Dapat dilihat dari puisi di atas, bahwa Taufik
Ismail memandang dari sisi ideologi dan jiwanya yang muda, yang memiliki
semangat menggelora, bahwa kematian mahasiswa itu direkamnya sebagai peristiwa
yang membanggakan akan keberanian mahasiwa untuk mendongkrak pemerintahan dan
sistem politik tahun 1998 yang saat itu di pimpin oleh Presiden Soeharto.
Puisi yang berjudul “ Tahun 1998” karya Taufik
Ismail menggambarkan sebuah potret sosial tentang protes sosial, juga
menyangkut pada politik dan pemerintahan serta pemberontakan tahun 1998.
Segi
Makna
Makna dalam
puisi tidak menunjuk pada satu makna, tetapi menunjuk pada makna ganda. Oleh
karena itu, kata-kata dalam puisi tidak selalu sama dengan makna bahasa
sehari-hari. Pada puisi Taufik Ismail, dapat dilihat dari bait pertama yaitu:
Empat syuhada berangkat pada suatu
malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan
simaklah itu sedu-sedan,
bait pertama puisi di atas menggambarkan kesedihan
yang mendalam ketika mengantar empat orang syuhada ke tempat pembaringan
terakahir. Empat oramg syuhada di
sini adalah empat orang mahasiswa yang tertembak mati pada saat peristiwa
Trisakti itu.
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir
reformasi
karena
jemu deformasi, dengarkan saban hari
langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
pada bait ke dua diatas menggambarkan semangat yang
luar biasa para pemuda untuk menegakkan sebuah reformasi.
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun
dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Pada bait selanjutnya yaitu pada bait ke tiga, di
sini ada opini yang disampaikan oleh penyair yaitu Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.
Tapi malaikat
telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri,
karena kalian berani
mengukir alfabet pertama dari
gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
pada bait ke tiga menggambarkan bahwa penyair ingin
bercerita kepada empat syuhada itu, jangan pernah menyesal karena semua yang
telah terjadi adalah ukiran prestasi yang luar biasa.
Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di
bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
pada bait ke empat adalah sebuah simbolisasi yang
menggambarkan kesedihan.
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa
bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh
dan kita perlukan peta dari Tuhan
pada bait ke lima penyair juga seolah-olah bercerita
kepada para empat syuhada itu.