Minggu, 23 Maret 2014

Analisis Puisi "12 Mei 1998"





12 Mei, 1998
mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan


Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
                   tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
          dan simaklah itu sedu-sedan,

Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
        karena jemu deformasi, dengarkan saban hari  langkah sahabat-
        sahabatmu beribu menderu-deru,

Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
          Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,

Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
           Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani
           mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
           darah arteri sendiri,

Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
           matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
           bersembunyi,

Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
          kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
          jauh dan kita perlukan peta darai Tuhan
(Taufik Ismail)
Latar Belakang Penyair

Taufik Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 juni 1935. Penyair yang menulis ;Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999), ia adalah pendiri majalah sastra, Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968). Taufik Ismail, merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor, sekarang adalah IPB, berobsessi mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan Perguruan Tinggi.
Karya-karya Taufik Ismail telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Buku Tamu Musem Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1933), dan Malu  (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
Bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, Taufik juga menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S.Meoljanto, salah seorang penanda tangan  Manifes Kebudayaan, menyunting Prahara Budaya (1994).
Cita-cita menjadi sastrawan, telah tertanam sejak taufik duduk di bangku SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Kala itu, dia sudah mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. “Sejak SMA sayaa memang telah berminat pada dunia sastra,” kata Taufik yang memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang suka membaca.
Kegemaran membacanya makin terpuaskan, ketika Taufik menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia di Pekalongan. Sambil menjaga perpustakaan, dia pun leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. Dia tidak hanya membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama.
Kesukaan membacanya, tanpa disadari membuatnya menjadi mudah dan suka menulis. Ketertarikannya pada sastra semakin tumbuh tatkala dia sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS. Dia mendapat kesempatan sekolah di situ, berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana dia mengenal karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Dia sangat menyukai novel Hemingway The Old Man and The Sea.
Taufik menikah dengan Esiyati tahun 1971. Mereka di karuniai satu anak, yang diberinya nama Abraham Ismail.
Riwayat Pendidikan
Sekolah Rakyat di Semarang
SMP di Bukittinggi, Sumatera Barat
SMA di Pekalongan Jawa Tengah
SMA Whitefish Bay di Mikwaukee, Wisconsin, AS
Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963 
Karir
Penyair
Pendiri Majalah Horison (1966)
Pendiri Dewan Kesenian Jakarta (1968)
Redaktur Senior Horison dan Kolumnis  (1966-sekarang)
Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (1973)
Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
Kegiatan Lain
Dosen IPB (1962-1965)
Dosen Fakultas Psikologi UI (1967)
Sekretaris DPH-DKI (1970-1971)
Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978)
Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985)
Penghargaan
American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, AS (1956-1957)
Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970
SEA Write Award (1997)

Analisis
Karya sastra merupakan dokumen sosial. Pikiran ini juga sesuai dengan pikiran Marx dan Engels yang menyatakan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat dengan berbagai cara. Puisi yang berjudul “12 Mei, 1998” merupakan rekaman dari penyairnya sendiri yaitu Taufik Ismail. Taufik Ismail merekam dengan sangat baik sebuah peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Peristiwa itu adalah Tragedi Trisakti, tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti waktu mereka mengadakan demonstrasi, hingga peristiwa ini memicu munculnya Orde Reformasi.
Puisi ini juga menggambarkan bahwa penyairnya adalah seseorang yang memiliki jiwa muda, karena puisi ini berisi protes sosial. Di dukung dengan kejadian peristiwa pada tahun 1998, puisi ini benar-benar lengkap akan  sebuah potret sosial yang dipaparkan oleh penyairnya, pada intinya Taufik Ismail di sini memberikan sebuah realitas yang mendalam pada puisinya. Tidak dapat dielakkan bahwa karya sastra merupakan bentuk persepsi dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial suatu zaman.
Dapat dilihat dari puisi di atas, bahwa Taufik Ismail memandang dari sisi ideologi dan jiwanya yang muda, yang memiliki semangat menggelora, bahwa kematian mahasiswa itu direkamnya sebagai peristiwa yang membanggakan akan keberanian mahasiwa untuk mendongkrak pemerintahan dan sistem politik tahun 1998 yang saat itu di pimpin oleh Presiden Soeharto.
Puisi yang berjudul “ Tahun 1998” karya Taufik Ismail menggambarkan sebuah potret sosial tentang protes sosial, juga menyangkut pada politik dan pemerintahan serta pemberontakan tahun 1998.
Segi Makna
 Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, tetapi menunjuk pada makna ganda. Oleh karena itu, kata-kata dalam puisi tidak selalu sama dengan makna bahasa sehari-hari. Pada puisi Taufik Ismail, dapat dilihat dari bait pertama yaitu:
Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
                   tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
          dan simaklah itu sedu-sedan,

bait pertama puisi di atas menggambarkan kesedihan yang mendalam ketika mengantar empat orang syuhada ke tempat pembaringan terakahir. Empat oramg syuhada di sini adalah empat orang mahasiswa yang tertembak mati pada saat peristiwa Trisakti itu.  
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
        karena jemu deformasi, dengarkan saban hari  langkah sahabat-
        sahabatmu beribu menderu-deru,
pada bait ke dua diatas menggambarkan semangat yang luar biasa para pemuda untuk menegakkan sebuah reformasi.
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
          Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,

Pada bait selanjutnya yaitu pada bait ke tiga, di sini ada opini yang disampaikan oleh penyair yaitu Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
           Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani
           mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
           darah arteri sendiri,
pada bait ke tiga menggambarkan bahwa penyair ingin bercerita kepada empat syuhada itu, jangan pernah menyesal karena semua yang telah terjadi adalah ukiran prestasi yang luar biasa.
Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
           matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
           bersembunyi,
pada bait ke empat adalah sebuah simbolisasi yang menggambarkan kesedihan.
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
          kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
          jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan
pada bait ke lima penyair juga seolah-olah bercerita kepada para empat syuhada itu.

Selasa, 18 Maret 2014

“ESSAY" Beragam Persoalan yang terdapat dalam Karya Sastra di Indonesia





Pendahuluan
   Dalam suatu kehidupan pasti muncul beragam persoalan. Tidak ada dalam proses kehidupan semuanya akan tenang dan nyaman-nyaman saja. Justru, persoalan-persoalan itu lah yang menjadi bumbu-bumbu manusia menuju puncak penyelesaian, mengajarkan kedewasaan, dan membentuk manusia yang tahan banting terhadap beragam persoalan itu.
   Itu pula yang terjadi dalam karya sastra di Indonesia, setiap pengarang memunculkan konflik dan beragam persoalan dalam karyanya. Tidak heran jika  persoalan-persoalan itu membuat masyarakat atau pembaca  megikuti alur demi alur, karena pada dasarnya persoalan-persoalan yang diangkat oleh pengarangya itu berasal dari persoalan masyarakat. Mungkin kita sebagai pembaca maupuan penikmat dari karya sastra bisa merasakan persoalan yang diangkat itu adalah sebuah realitas.
   Lalu, apakah akibat dari persoalan itu? Pada dasarnya kita sebagai pembaca lah yang mampu menilainya. Dari segi mana kita memandang persoalan itu dan bagaimana kita harus menyikapinya. Terkadang ada yang pro dengan pengarang, ada juga yang kontra lalu mereka memberontak dan melakukan sebuah kritik terhadap persoalan yang ada dalam karya sastra itu.
Disinilah saya akan mengupas persoalan-persoalan dalam karya sastra di Indonesia yang dimunculkan oleh sastrawan Indonesia.
Isi
Bahwa karya sastra adalah dokumen sosial, ini lah yang harus di garis bawahi. Pendapat itu sesuai dengan pikiran Marx dan Engels  (Siswanto,2008:7), yang menyatakan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat dengan berbagai cara. Lantas, apa persoalannya di sini?
Persoalannya adalah bahwa dokumen sosial  itu berisikan beragam persoalan masyarakat yang di adopsi dalam karya. Lalu, apa saja persoalan-persoalan yang di tampilkan oleh sastrawan-sastrawan dengan karyanya itu? Dan persoalan apa yang lebih dominan ditonjolkan dalam karya sastra di Indonesia?
Pertama, persoalan pendidikan dan mimpi. Persoalan pendidikan sering muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada di daerah tertinggal. Salah satu pengarang yang mengangkat persolan ini adalah Andrea Hirata, dengan karyanya  novel sang pemimpi. Novel itu merupakan novel kedua dari tetraloginya, yaitu (1) laskar pelangi, (2) sang pemimpi, (3) edensor, dan (4) Maryaman karpov. Isi dari karyanya ini berupa pengalaman hidupnya. Apa yang diceritakan Andrea Hirata di dalam karyanya tidak bisa lepas dari lingkungan dan latar belakang hidupnya. Ia lahir di Belitong. Yang diceritakan dalam karyanya tidak bisa dilepaskan dari kisah-kisah hidupnya saat kecil bersama orang tuanya, saudaranya, teman-temannya atau orang-orang yang dikenalnya di SD, SMP, SMA, serta petualanagannya. Apa yang diceritakannya tidak bisa dilepaskan dari alam Belitong.
Kedua, persoalan gender. Banyak karya dari sastrawan kita mengupas tentang gender. Yang lebih ditonjolkan dalam persoalan ini adalah dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan serta kedudukannya, juga persoalan-persoalan perempuan dalam karya, berhubungan dengan persoalan perempuan ini, pakar teori sastra telah menempatkan persoalan pada tempatnya. Ada wadah tersendiri untuk mambahas tentang persolan perempuan, yaitu dengan teori Feminisme.
Namun, di sini saya akan sedikit memberikan gambaran atau contoh yang berhubungan dengan persoalan gender dalam karya. Karya-karya Nh.Dini, misalnya lebih banyak bercerita dan menyuarakan perempuan, seperti Dua Suara Wanita Indonesia (Pada Sebuah Kapal, Hati yang Damai, La Barka), Wanita Belanda (Keberangkatan), atau Wanita Jepang (Namaku Hiroko). Demikian juga dengan novelis wanita lainnya, seperti Th.Sri Srahayu Prihatmi  dan Titis Basino, yang juga bercerita tentang wanita. Pada masa 2000-an, pengarang seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, dan Dewi Lestari juga menyuarakan suara perempuan. Mereka tidak hanya menggambarkan perempuan, tetapi juga sering memprotes atas kedudukan dan peran wanita.
Tampaknya persoalan gender lebih terwarnai oleh manusia yang berjenis kelamin perempuan, atau memang sudah seperti itu pada awalnya. Dalam tulisan S.R.H. Sitanggung “Wanita dan Tradisi Suatu Kajian Tiga Cerkan Mesir--Aljazair--Uganda” mengupas tiga karya sastra yang menggambarkan bahwa wanita itu adalah sosok yang lemah, bodoh, dan hanya bisa menjual apa yang ada pada dirinya.
Persoalan yang terakhir adalah persoalan cinta. Cinta adalah warna dalam pokok persoalan kehidupan, rasanya hambar ketika tidak ada cinta yang berlabuh di kehidupan ini. Macam persoalan cinta hadir di sini, mulai dari cinta manusia kepada Tuhan, manusia kepada manusia, dan manusia kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Namun, yang lebih dominan menonjol dalam karya adalah persoalan cinta kepada sesama manusia dan lebih spesifik cinta kepada lawan jenis. Banyak karya sastra dengan tema persoalan cinta bertebaran di pasaran.  Bahkan karya yang pada dasarnya  mengangkat tema perjuangan, agama, dan lain sebagainya pun ikut terwarnai oleh persoalan cinta.
Misalnya karya Mochtar Lubis “Jalan Tak Ada Ujung”, awal persoalannya bukanlah tentang persoalan cinta tetapi persoalan tentang perjuangan tempo dulu dan penjajahan tentara NICA yang menimbulkan ketakutan yang mendalam pada tokoh-tokoh yang ditampilkan oleh Mochtar, lalu dalam karyanya itu Mochtar memberikan warna dengan persoalan penghianatan cinta, cinta segi tiga antar tokoh-tokohnya. Tokoh utama Guru Isa yang digambarkan sangat pengecut dan menderita penyakit impotent yang tidak bisa melakukan hubungan seksual dengan istrinya, Fatimah. Lalu muncul tokoh Hazil sebagai sahabat Guru Isa yang pada akhirnya terlibat cinta dengan istri dari sahabatnya sendiri.
Persoalan cinta cukup kompleks dan sangat panjang untuk di bicarakan. Pada hakikatnya persoalan cinta adalah salah satu persoalan dalam karya sastra yang juga merupakan dokumentasi sosial dari realitas kehidupan masyarakat.


Kesimpulan
Pokok persoalan yang terdapat dalam karya sastra di Indonesia lebih menonjolkan pada persoalan pendidikan, cita-cita, gender atau jenis kelamin, dan cinta. Semua persoalan yang diangkat dalam karya sastra adalah dokumentasi sosial dari persoalan masyarakatnya.

Daftar Kepustakaan
Mahayana,Maman S.2005.Sembilan Jawaban Sastra Indonesia “Sebuah Orientasi Kritik”. Jakarta: Bening.
Siswanto,Wahyudi.2008.Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Trisman,dkk.2002.Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Bahasa.

   

Muslimah dan Fitrahnya sebagai Perempuan




Banyak yang mengatakan bahwa wanita adalah tempat persinggahan kaum pria. Yang dijadikan objek untuk bersenang-senang dan pelampiasan hasrat semata. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu sangat pemalu sekali, sangking pemalunya ia mampu meluluhkan jutaan kaum pria.
Menurut filsafat Marxisme, perempuan adalah milik kaum laki-laki. Perempuan dibebani untuk bekerja membanting tulang seperti selayaknya laki-laki sehingga kaum perempuan tidak bisa melakukan tugas sebagai istri, ibu bagi anak-anaknya, dan menjaga rumah tangga dari kehancuran. Filsafat Barat Amerika, menganggap perempuan harus melepaskan tugas keperempuanannya sehingga tidak ubahnya mereka sebagai barang dagangan seperti mobil, kulkas, dan televisi. Gambar mereka terpajang di sampul-sampul majalah tabloid bahkan foto-foto bugil mereka dengan sangat mudah dilihat lewat internet maupun media yang lain. [1]
Yang menjadi pertanyaan adalah  apa hubungan antara wanita dengan iklan mobil,kulkas, televisi, dan iklan –iklan yang lainnya yang menampilkan wanita disana? Jika kita seorang muslimah yang baik tentunya kita mampu menjawab pertanyaan besar itu.
Lalu, Bettany seorang pastur, dalam bukunya Agama-Agama Dunia menuturkan bahwa, “ karakter perempuan tidak terukur dalamnya, bagai ikan yang berlatih dalam air, dan menurut tabiatnya mereka selalu menggoda siapa saja yang dijumpainya. Selalu berdusta dengan siapa serta selalu memutarbalikkan kebenaran dan berkata kebonhongan.” [2]
Pastur St. John Chrysston dalam Cahyadi Takariawan, berpendapat, “perempuan adalah makhluk yang paling jahat, patut mendapat kesengsaraan, dia benar-benar penggoda dan menambah penyakit”. Sedangkan Pastur St.Clement dari Aleksandria, “Tidak ada satu pun yang dapat mendatangkan aib bagi laki-laki, walau dengan berbagai alasan, kecuali banyak dilakukan oleh perempuan”.
Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif dan sebagainya, selalu mewarnai kehidupan. Sampai sekarang, paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Bahkan, perempuan dijadikan  obyek citraan yang manis, citraan yang diselubungi derap seksual , dan perempuan adalah figur yang patut diperebutkan oleh laki-laki, terutama karena kecantikan dan kebolehannya. Pint pentingnya adalah perempuan harus setia kepada laki-laki (Endraswara, 2003:143-144).
Dengan begitu banyak statement di atas, apakah kita setuju bila sosok perempuan digambarkan dengan statement kenegatifan? Tentu tidak, bukan?
Disinilah islam hadir memberikan embun penyejuk bagi wanita, membersihkan segala perserpsi negatif tentang wanita. Islam pulalah yang mengangkat derajat wanita menjadi teragung, dan dengan begitu detailnya islam menjabarkan bagaimana  fitrah seorang  perempuan muslimah yang sesungguhnya.

Muslimah dan Fitrahnya sebagai perempuan. Apa yang terfikir oleh kita? Sebuah kewajiban, tantangan atau apa?
Tidak, semua ini adalah fitrah. Fitrah yang diberikan Allah kepada makhluk yang bernama wanita yang notabenenya adalah muslimah. Lalu, pertanyaan kita  adalah bagaimana islam memberikan gambaran tentang peran  kita sebagai seorang perempuan muslimah?
Islam mempunyai tujuan kenapa sosok perempuan dihadirkan di muka bumi ini. Allah mempunyai skenario yang telah selesai digarap tentang kehadiran perempuan muslimah ini. Dan semua makhluk yang diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini memiliki peranananya masing-masing. Begitupun dengan sorang muslimah. Nah, inilah peranan muslimah yang sesungguhnya:
Sebagai hamba Allah. Seorang muslimah adalah hamba Allah itu pasti. Lalu apa tugas kita disini? Tugas kita sebagai muslimah adalah berbuat kebajikan. Allah telah menjelaskan begitu detail dalam al-quran surat An-nahl:97.
Muslimah adalah seorang anak. Muslimah adalah hasil dari rahim yang begitu kuat menampung selama sembilan bulan. Apa yang bisa kita berikan sebagi seorang muslimah kepada pemilik rahim yang begitu kuat menampung kita sembilan bulan? Hanya berbakti dan mencoba untuk membahagiakan pemilik sang rahim itu dan juga kepada penjaga sang pemilik rahim, itulah yang bisa kita lakukan. Allah telah begitu detail merangkan dalam kalamnya.
Sejatinya seorang adam diturunkan dimuka bumi ini tidak lah sendiri, ada hawa yang menyertainya. Dalam dekapan cinta Allah mereka dipertemukan. Begitupun seorang muslimah, ia hadir di muka bumi untuk dipersiapkan menjadi seorang istri.
“Di balik keberhasilan pembesar, ada wanita hebat”.
Setelah menjadi seorang istri, tentu ia akan menjadi ibu. Ibu bagi anak-anaknya. Disinilah seorang muslimah begitu penting, memiliki tanggungjawab yang luar biasa bagi anak-anaknya.
“Seorang Pemyair bahkan mengatakan bahwa seorang ibu ibarat sekolah. Apabila kamu siapkan dengan baik. Berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya.”
Peranan seorang muslimah bukan hanya berkutat pada anak-anak, dapur, dan suami. Tetapi ia mempunyai amanah di luar rumah. Bagaimana seorang muslimah berinteraksi dengan tetangga dan anggota masyarakatnya. Seorang muslimah tidak boleh menutup diri dari anggota masyarakat, karena pada hakikatnya muslimah  adalah bagian dari masyarakatnya itu sendiri.
Cukup singkat, penjabaran tentang peranan muslimah dan fitrahnya sebagai perempuan. Tetapi, yang harus diingat adalah dari yang singkat itu ada sebuah amanah yang cukup besar untuk kita emban sebagai seorang muslimah.
Menyesalkah kita, yang terlahir sebagi seorang wanita muslimah? Oh, jangan. Jangan pernah menyesal. Kita punya kedudukan spesial di mata Allah. al-quran saja memberikan pembahasan yang khusus tentang wanita muslimah. Haruskah kita minder?
Jadi, kesimpulannya fitrah seorang muslimah adalah sebagai hamba Allah, sebagai seorang anak, sebagai istri, sebagai ibu, dan sebagai anggota masyarakat. Jangan pernah menyesal menjadi seorang muslimah. Jalani fitrah kita dan tetap semangat.

Referensi
Endraswara, Suwardi.2003.Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta:Pustaka Widyatama.
2011.Keakhwatan  “Bersama Tarbiyah Ukhti Muslimah Tunaikan Amanah”.Surakarta:Era Adicitra Intermedia.




[1] Cahyadi Takariawan,dkk,Keakhwatan” Bersama Tarbiyah Ukhti Muslimah Tunaikan Amanah”,Surakarta,2011,hlm.20.
[2] Ibid,hlm 20.