BAB I
PENDAHULUAN
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin
antara psikologi dan sastra. Endraswara(dalam Albertin,:59). Mempelajari
psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi
dalam. Mungkin aspek ‘dalam’ ini yang acap kali bersifat subjektif, yang
membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar
psikologi sastra amat indah, karena kita memahami sisi kedalaman jiwa manusia,
jelas amat luas dan amat dalam. Daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah
manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam
sastra, tetapi juga bisa mewakili orang lain. Setiap pengarang kerap
menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman pengarang itu
sering pula dialami oleh orang lain. [1]
Sejak abad ke
empat sebelum Masehi, Aristoteles talah menggunakan pendekatan kejiwaan untuk
menerapkan batasan klasik tentang timbulnya tragedi yang dikombinasikan dengan
rasa belas kasih dan rasa ketakutan yang menyebabkan katarsis, Guerin(dalam
Albertin,:52). Katarsis adalah upaya mengatasi tekanan emosi masa lalu atau
efek terapis dari pengalaman yang menekan, Rycroft(dalam Albertin,:52). Sir
Philip Sidney pernah mengatakan bahwa efek moral sebuah karya sastra adalah
sastra psikologis. Demikian pula pandangan para penyair abad Romantis seperti
Coleridge, Wordsworth, dan Shelley yang mengemukakan teori mereka tentang
imajinasi.
Pada abad ke
-20 teori sastra dilanda perkembangan yang sangat pesat, berbagai teori
bermunculan, baik dari jalur strukturalisme, semiotic, sosiologi sastra,
psikoanalisis, dan lainnya, Zaimar(dalam Albertin,:52). Pada dasarnya psikologi
sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan
asal-usul karya, artinya, psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan
psike dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Terdapat beberapa pandangan yang
menyatakan perkembangan psikologi sastra agak lamban dikarenakan beberapa
sebab. Penyebabnya antara lain: pertama, manusia sebagai individu,
kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis
dianggap sempit. Kedua, dikaitkan dengan tradisi intelektual,
teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga para sarjana sastra kurang
memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra. Alasan diatas membuat
psikologi sastra kurang diminati untuk diteliti, Ratna(dalam Albertin,:52-53).
Kendala yang juga menghambat perkembangan psikologi sastra adalah antusiasme
yang berlebihan ketika peneliti menerapkan pendekatan ini, artinya pembahasan
terlalu terfokus pada segi psikologi, sedangkan hakikat sastra sering kali
ditinggalkan. Kendala lainnya adalah ketidakmampuan para pengajar sastra
memahami konsep-konsep psikologi yang harus digunakan dalam telaah sstra. Oleh
karena itu pengajar sastra perlu memahami dan mendalami toeri, konsep, dan definisi
yang terkait denga karya-karya sastra.
Psikologi
sastra tidak bermaksud memecahkan masalah-masalah psikologi. Tujuan psikologi
sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya,
melalui pemahaman terhadap para tokoh, misalnya masyarakat dapat memahami
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di
masyarakat, khusunya yang terkait psike. Ada tiga cra yang dilakukam untuk
memahami hubungan antara psikologi debgan sastra, yaitu:
a.
Memahami
unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.
b.
Memahami
unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra, dan
c.
Memahami
unsur-unsur kejiwaan pembaca.
BAB II
ISI
2.1 Studi psikologi sastra dalam Atheis
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
novel Atheis, beikut ini adalah sinopsis
novel Atheis. Dari sinopsis ini diharapakan pembaca mendapat gambaran sekilas
mengenai novel yang dibahas dalam makalah ini.
Atheis mevcritakan tentang kehidupan Hasan.
Hasan adalah anak seorang dari pension seorang menteri guru, dengan
kehidupannya yang sangat sederhana. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat
saleh dan alim. Ia dan keluarganya hidup pada pemerintahan colonial Jepang,
yaitu pada Perang Dunia ke II. Dengan latar belakang orangtuanya yang alim
tentu, hasan adalah cerminan dari orangtuanya.
Namun, sejak pertemuannya dengan Rusli dan
Kartini mengubah seluruh hidup hasan. Ia berusaha mwnyesuaikan diri dengan
pergaulan Kartini dan Rusli yang memiliki paham yang diyakini secara berbeda.
Paham kartini sebagai wanita modern yang selalu ingin pada kebebasan sebagai
wanita, juga paham Hazil yang Atheis.
Hasan mengeluh. Hatinya bimbang,
terombang-ambing antara dua pilihan. Tetap berada di jalan yang telah di
ajarkan oleh orangtuanya sedari kecil: jalan agama, atau memasuki dunia baru
yang baru ia kenal dari sahabatnya Rusli yang telah menariknya dengan kuat :
menjadi seoarng Atheis. Medan magnet begitu kuat menarik Hazil melalui Kartini,
wanita modern yang baginya merupakan titisan Rukmini (wanita yang dicintainya
dulu).
Hasan mengalami menghdapi berbagai konflik
yang menyebabkan pertentangan hebat dalam batinnya. Pernikahannya dengan
Kartini yang tidak di restui juga
kekecewaan orangtuanya terhadap paham baru yang dianutnya. Masalah meruncing
ketika muncul Anwar, seoarang seniman yang juga menaruh hati kepada Kartini,
istrinya.
Mampukah Hasan hubungan cintanya dengan
Kartini? Akan tetapi menjadi seorang Atheiskah ia? Dapatkah ia mempertahankan
pilihan dan pendiriannya serta mengatasi
masalah demi masalah yang dihadapinya?
2.2 Latar belakang pengarang sebagai pribadi
Dalam makalah ini, akan dibahas juga
sedikit tentang latar belakang pengarang sebagai pribadi dan hubungannya dengan
novel Atheis. Ada pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam berkarya
adalah karena pengarang dianggap mengalami gangguan emosi dan karya sastranya
dianggap merupakan kompensasinya. Ada pendapat lain, pengarang menuliskan
kegelisahannya, menganggap kekurangan, dan kesengsaraan sebagai tema-tema
karya-karyanya, Wellek dan Warren (dalam Siswanto,2008:13). Jadi disini akan
dipaparkan tentang latar belakng pengarang tersebut.
Achdiat karta Miharja lahir pada tanggal 6
Maret 1911. Ia dibesarkan dalam lingkungan menak yang feudal. Ayahnya bernama
Kosasih Karta Miharja, seorang pejabat Pangrehpraja di Jawa Barat. Ia memulai
dasarnya di HIS (sekolah Belanda), di Kota Bandung dan tamant pada tahun 1925.
Ia masuk AMS (sekolah Belanda setara SMA), bagian sastra dan Kebudayaan Timur,
di Kota Solo tahun 1932. Tamat dari AMS ia sempat mengajar di Perguruan
Nasional, Tman Siiswa, tetapi tidak lama. Tahun 1934 ia beralih kerja menjadi
Anggota Redaksi Bintang Timur dan Redaktur mingguan Paninjauan. Kemudian achdiat
menikah dengan Suprapti pada bulan Juli 1938. Dari pernukahan itu, mereka
dikaruniai lima orang anak. Pada tahun, 1941 ia menjadi Redaktur Balai Pustaka.
Pada zaman pendudukan Jepang, Achdiat menjadi penerjamah di bagian siaran Radio
Jkarta. Tahun 1946 ia memimpin mingguan Gelombang Zaman dan Kemajuan Rakyat
yang terbut di Garut sekaligus menjadi anggota penyelidik Divisi Siliwangi.
Tahun 1948 ia kembali bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Tahun 1949 ia
menjadi redaktur Kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga
Baru, disamping sebagai pembantu Kebuyaan Harian Indonesia Rya dan Konfrontasi.
Lalu, melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia di Kota Jakarta. Ketika
kuliah, ia pernah diajar oleh Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J., dosen
Filsafat. Tahun 1956, dalam rangka Colombo Plan, Achdiat Karta Miharja mendapat
kesempatan belajar bahasa dan sastra inggris, serta karang mengarang di
Australia.
2.3
Psikologi tokoh dalam Atheis
Tokoh adalah figure yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan
psikologis. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra. Jutaaan rasa akan hadir lewat
tokoh. Penelitian rokoh memang bagian dari aspek instrinsik (struktur) sastra.
Namun, penelitian tokoh bernuansa psikis akan berpijak pada psikologi sastra.[2]
Didalam
karya novel unsur-unsur psikologi seringkali digunakan sebagai sifat dan watak
tokoh-tokoh yang berhubungan dengan peristiwa atau suasana lingkungan. Dalam
psikologi sastra memiliki tipe-tipe emosi yang tidak terhitung banykanya.
Adapun tipe-tipe emosi dari unsur-undur psikologi sastra, yakni kegembiraan,
cinta, marah, takut, cemas, dan lain-lain. Tipe-tipe seprti itu dikategorikan
sebagai yang posotif, misalnya kegembiraan dan cinta sedangkan yang negative
seperti marah, takut, cemas, dan lain-lain. Gambaran ini diberikan untuk
melihat bagaimana konsep psikologi itu, dalam hal ini adalah konsep
id-ego-superego. [3]
Hal
tersebut berlaku dalam novel Atheis, dimana Tokoh Hasan digambarkan
memiliki sifat dan emosional, seprti cinta, kasih sayang, takut, cemas, dan
marah. Sifat kasih sayang dari Tokoh
Hasan muncul sebagai akibat dari baktinya terhadap orang tua, posisi Tokoh
Hasan sebagai seoarang anak yang telah dirawat dan dibesarkan dengan penuh
perjuangan oleh orang tuanya. Dengan orang tua yang masih utuh dan dengan lingkungan yang baik, menyebabkan
Tokoh Hasan memiliki rasa kasih sayang. Hal ini dapat dilihat
Sambil
berkata demikian itu, tangan Ayah bergerak-gerak tak karuan seolah-olah hendak
memeluk Aku, mengelus-elus rambutku seperti Aku masih kecil. Tapi rupanya ia
insyaf, bahwa aku sekarang sudah dewasa, sudah tidak bisa lagi dielus-elus seperti dahulu. Aku
duduk bersila di hadapan Ayah. Tunduk. Air mata hendak mendesak ke kerongkongan
(Atheis,24-25)
Dari
kutipan diatas memperlihatkan bahwa Tokoh Hasan yang begitu kasih terhadap
orang tuanya, segala apa yang diperbuat adalah untuk membahagiakan orang
tuanya. Hingga air mata Tokoh Hasan ingin juga keluar karena respon dari kasih
orang tuanya terhadap Tokoh Hasan itu. Rasa kasih sayang dari Tokoh Hasan
muncul karena pengaruh dari lingkungan.
Rasa
takut juga di hadapi oleh Tokoh Hasan. Sekalipun selama ini ia berkumpul dengan
orang-orang yang Atheis, yang tidak percaya adanya Tuhan. Namun, ketakutan
tetap menghampiri Tokoh Hasan, ia takut akan neraka dan siksanya. Seperti yang
diceritakan oleh bibinya.
Rupanya
perkataan “Atheis” itu, bunga layu itu dengan tiba-tiba sudah berubah manjadi
seekor ular cobra yang tegak mendesis-desis hendak menggigit, “jangan!
Janganlah sekali lagi saudara mengatakan, bahwa saya ini Atheis!
Karena…………..(hening beberapa jurus. Kemudian dengan suara merendah) karena saya
takut. Takut neraka! Dan memang neraka
itu ada. Saudara! Ada! (suaranya naik lagi)” , (Atheis, 185-186)
Rasa
takut bercampur sesal menghimpit pada
Tokoh Hasan, ketakutan dan penyesalan
yang luar biasa mengakibatkan jiwanya patah dan tergoncang. Dimulai dari
Ayahnya yang sakit keras karena memikirkan dirinya. Dalam batinnya dia
berteriak Ayahnya sakit karena dia. Belum lagi penyakit TBC yang dideritanya
serasa ia mau mati juga. Tokoh Hasan memberanikan diri untuk menjenguk Ayahnya
yang terbaring sakit di rumah sakit, namun kehadirannya semakin memperburuk
keadaan. Tokoh Hasan diusur oleh Ayahnya. Hatinya begitu pedih. Ketakutan dan Penyesalannya serta goncangan jiwanya semakin
menjadi. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan dibawah ini.
“kamu
telah berdosa! Ayahmu sampai ma, karena tak tertahankan lagi penderitaanya
memikirkan pendirianmu yang sesat! Kamu telah telah ingkar dari agamamu
sendiri! Kamu telah pecat dari imanmu kepada Tuhan! Telah murtad! Kafir!
Atheis!
Mendesing-desing
suara itu, seolah-olah dalam lobang perlindungan yang gelap itu ada seorang
yang berdiri di depan Hasan, menghardik dan mencela habis-habisan. Hasan
memejamkan matanya lagi. Tidak berani melihatb apa-apa lagi. Tapi air matanya
merembes diantara celah kelopak matanaya (Atheis, 217).
Dalam kutipan diatas juga dapat kita lihat, sebuah penyesalan yang
disimbolkan dengan air matanya yang meleleh.
Dalam jiwa Tokoh Hasan muncullah dendam terhadap Tokoh Anwar yang
telah membawa dia kepada jalan yang tidak benar. Hali itu dapat dilihat dari kutipan
dibawah ini!
“ Ya, si Anwar itulah yang
menyesatkan daku…! … ya. Tapi aku sendiripun
bodoh. Aku bodoh. Karena aku selalu mudah dipengaruhi dan tak sanggup
membikin keyakinan sendiri yang kukuh kuat!” (Atheis, 218).
Dalam kajian psikologi sastra, akan
berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur
kejiwaan, yaitu: id,ego, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian
itu atau sama lain salin berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku
manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id adalah sistem
kepribadian manusia yang paling dasar.[4]
Id
menggerakkan individu untuk mendapatkan kepuasan dan kesenangan yang berasal
dari rangsangan nafsu. Karena itu, pemuasan keinginan nafsu ini menjadi salah
satu kebutuhan penting, tidak saja bagi atau lebih individu.[5]
Dalam novel Atheis ini, Tokoh Hasan juga memilki dorongan nafsu. Tokoh Hasan
yang biasanya menjaga diri dari berhubungan dengan wanita yang bukan muhrim,
namun terjadi peristiwa yang tiba-tiba saat Tokoh Hasan dan Tokoh Kartini
pulang menuju rumah masing-masing. Dari arah tikungan Hasan dan Kartini naik
delman muncullah mobil sedan yang jaraknya begitu dekat, seolah
menyerempat delman yang dinaiki Tokoh Hasan dan Kartini. Dan Kartini pun
menjerit katakutan.
Aku
tidak bisa lanjut. Hatiku berdegup tak karuan. Malukah aku, atau menyesal atau malah cemas, karena aku sudah beradu kulit
dengan seorang perempuan yang bukan muhrim?.
Entahlah, belum pernah hatiku berdegup demikian. Belum pernah aku m merasa dihinggapi perasaan yang demikian
dengan sehebat itu. Mamang hebat benar pengaruh-pengaruh
yang bekerja keras atas diriku pada malami itu: kesunyian malam , harum
bedak dan minyak wangi dan selanjutnya masih terasa benar diujungj jari-jari
dan telapak kedua belah tanganku keempukan buah dada Kartini. Ketika dia hendak
jatuh terlentang ke dalam pelukanku. (Atheis,85)
Kutipan
diatas memperlihatkan bahwa Tokoh Hasan. Sekalipun ia seorang yang alim dan saleh, tapi tetap saja memiliki dorongan
nafsu seksual. Sebenarnya nafsu itu bukan hanya nafsu seksual saja yang
berorinetasi pda hal-hal negative. Tapi juga nafsu yang mendorong manusia untuk
hal-hal kebaikan itu juga ada.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan analisis novel Atheis karya
Achdiat Karta Miharja dapat disimpulkan bahwa Psikologi sastra dalam novel
Atheis sangat kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada cerita yang ada novel. Tokoh Hasan sebagai tokoh utama yang
benar-benar Nampak psikologinya. Dimulai dari tekanan batin yang ia alami
dengan orang tuanya dan juga tokoh-tokoh yang lain yang ada dalam novel Atheis.
Dalam analisis
psikologi ada unsur penting yaitu, id-ego-super ego.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta :
Medpress..
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Gyem, Kim Jang. 2012.Puitika “Jurnal Humaniora”,
volume 8, No.1, Februari 2012 .
Miharja,
Achdiat K. 2002.Atheis.Jakarta: Balai Pustaka.
Minderop,
Albertin.2011.Psikologi Sastra.Jakarta: Yayasan Binyang Obor.
Siswanto,
Wahyudi.2008.Pengantar Teori Sastra.Jakarta:Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar