Selasa, 18 Maret 2014

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH DALAM NOVEL “ ATHEIS” KARYA ACHDIAT KARTA MIHARJA






BAB I
PENDAHULUAN

   Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra. Endraswara(dalam Albertin,:59). Mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Mungkin aspek ‘dalam’ ini yang acap kali bersifat subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra amat indah, karena kita memahami sisi kedalaman jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam. Daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili orang lain. Setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain. [1]
Sejak abad ke empat sebelum Masehi, Aristoteles talah menggunakan pendekatan kejiwaan untuk menerapkan batasan klasik tentang timbulnya tragedi yang dikombinasikan dengan rasa belas kasih dan rasa ketakutan yang menyebabkan katarsis, Guerin(dalam Albertin,:52). Katarsis adalah upaya mengatasi tekanan emosi masa lalu atau efek terapis dari pengalaman yang menekan, Rycroft(dalam Albertin,:52). Sir Philip Sidney pernah mengatakan bahwa efek moral sebuah karya sastra adalah sastra psikologis. Demikian pula pandangan para penyair abad Romantis seperti Coleridge, Wordsworth, dan Shelley yang mengemukakan teori mereka tentang imajinasi.
Pada abad ke -20 teori sastra dilanda perkembangan yang sangat pesat, berbagai teori bermunculan, baik dari jalur strukturalisme, semiotic, sosiologi sastra, psikoanalisis, dan lainnya, Zaimar(dalam Albertin,:52). Pada dasarnya psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya, artinya, psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Terdapat beberapa pandangan yang menyatakan perkembangan psikologi sastra agak lamban dikarenakan beberapa sebab. Penyebabnya antara lain: pertama, manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit. Kedua, dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra. Alasan diatas membuat psikologi sastra kurang diminati untuk diteliti, Ratna(dalam Albertin,:52-53). Kendala yang juga menghambat perkembangan psikologi sastra adalah antusiasme yang berlebihan ketika peneliti menerapkan pendekatan ini, artinya pembahasan terlalu terfokus pada segi psikologi, sedangkan hakikat sastra sering kali ditinggalkan. Kendala lainnya adalah ketidakmampuan para pengajar sastra memahami konsep-konsep psikologi yang harus digunakan dalam telaah sstra. Oleh karena itu pengajar sastra perlu memahami dan mendalami toeri, konsep, dan definisi yang terkait denga karya-karya sastra.
Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah-masalah psikologi. Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya, melalui pemahaman terhadap para tokoh, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di masyarakat, khusunya yang terkait psike. Ada tiga cra yang dilakukam untuk memahami hubungan antara psikologi debgan sastra, yaitu:
a.       Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.
b.      Memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra, dan
c.       Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.









BAB II
ISI
2.1      Studi psikologi sastra dalam Atheis
     Sebelum membahas lebih lanjut mengenai novel Atheis, beikut ini adalah  sinopsis novel Atheis. Dari sinopsis ini diharapakan pembaca mendapat gambaran sekilas mengenai novel yang dibahas dalam makalah ini.
    Atheis mevcritakan tentang kehidupan Hasan. Hasan adalah anak seorang dari pension seorang menteri guru, dengan kehidupannya yang sangat sederhana. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh dan alim. Ia dan keluarganya hidup pada pemerintahan colonial Jepang, yaitu pada Perang Dunia ke II. Dengan latar belakang orangtuanya yang alim tentu, hasan adalah cerminan dari orangtuanya.
    Namun, sejak pertemuannya dengan Rusli dan Kartini mengubah seluruh hidup hasan. Ia berusaha mwnyesuaikan diri dengan pergaulan Kartini dan Rusli yang memiliki paham yang diyakini secara berbeda. Paham kartini sebagai wanita modern yang selalu ingin pada kebebasan sebagai wanita, juga paham Hazil yang Atheis.
    Hasan mengeluh. Hatinya bimbang, terombang-ambing antara dua pilihan. Tetap berada di jalan yang telah di ajarkan oleh orangtuanya sedari kecil: jalan agama, atau memasuki dunia baru yang baru ia kenal dari sahabatnya Rusli yang telah menariknya dengan kuat : menjadi seoarng Atheis. Medan magnet begitu kuat menarik Hazil melalui Kartini, wanita modern yang baginya merupakan titisan Rukmini (wanita yang dicintainya dulu).
    Hasan mengalami menghdapi berbagai konflik yang menyebabkan pertentangan hebat dalam batinnya. Pernikahannya dengan Kartini  yang tidak di restui juga kekecewaan orangtuanya terhadap paham baru yang dianutnya. Masalah meruncing ketika muncul Anwar, seoarang seniman yang juga menaruh hati kepada Kartini, istrinya.
   Mampukah Hasan hubungan cintanya dengan Kartini? Akan tetapi menjadi seorang Atheiskah ia? Dapatkah ia mempertahankan pilihan dan pendiriannya serta  mengatasi masalah demi masalah yang dihadapinya?
        
 2.2 Latar belakang pengarang sebagai pribadi
     Dalam makalah ini, akan dibahas juga sedikit tentang latar belakang pengarang sebagai pribadi dan hubungannya dengan novel Atheis. Ada pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam berkarya adalah karena pengarang dianggap mengalami gangguan emosi dan karya sastranya dianggap merupakan kompensasinya. Ada pendapat lain, pengarang menuliskan kegelisahannya, menganggap kekurangan, dan kesengsaraan sebagai tema-tema karya-karyanya, Wellek dan Warren (dalam Siswanto,2008:13). Jadi disini akan dipaparkan tentang latar belakng pengarang tersebut.
     Achdiat karta Miharja lahir pada tanggal 6 Maret 1911. Ia dibesarkan dalam lingkungan menak yang feudal. Ayahnya bernama Kosasih Karta Miharja, seorang pejabat Pangrehpraja di Jawa Barat. Ia memulai dasarnya di HIS (sekolah Belanda), di Kota Bandung dan tamant pada tahun 1925. Ia masuk AMS (sekolah Belanda setara SMA), bagian sastra dan Kebudayaan Timur, di Kota Solo tahun 1932. Tamat dari AMS ia sempat mengajar di Perguruan Nasional, Tman Siiswa, tetapi tidak lama. Tahun 1934 ia beralih kerja menjadi Anggota Redaksi Bintang Timur dan Redaktur mingguan Paninjauan. Kemudian achdiat menikah dengan Suprapti pada bulan Juli 1938. Dari pernukahan itu, mereka dikaruniai lima orang anak. Pada tahun, 1941 ia menjadi Redaktur Balai Pustaka. Pada zaman pendudukan Jepang, Achdiat menjadi penerjamah di bagian siaran Radio Jkarta. Tahun 1946 ia memimpin mingguan Gelombang Zaman dan Kemajuan Rakyat yang terbut di Garut sekaligus menjadi anggota penyelidik Divisi Siliwangi. Tahun 1948 ia kembali bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Tahun 1949 ia menjadi redaktur Kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga Baru, disamping sebagai pembantu Kebuyaan Harian Indonesia Rya dan Konfrontasi. Lalu, melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia di Kota Jakarta. Ketika kuliah, ia pernah diajar oleh Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J., dosen Filsafat. Tahun 1956, dalam rangka Colombo Plan, Achdiat Karta Miharja mendapat kesempatan belajar bahasa dan sastra inggris, serta karang mengarang di Australia.
 2.3     Psikologi tokoh dalam Atheis
   Tokoh adalah figure yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan psikologis. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra. Jutaaan rasa akan hadir lewat tokoh. Penelitian rokoh memang bagian dari aspek instrinsik (struktur) sastra. Namun, penelitian tokoh bernuansa psikis akan berpijak pada psikologi sastra.[2]   
Didalam karya novel unsur-unsur psikologi seringkali digunakan sebagai sifat dan watak tokoh-tokoh yang berhubungan dengan peristiwa atau suasana lingkungan. Dalam psikologi sastra memiliki tipe-tipe emosi yang tidak terhitung banykanya. Adapun tipe-tipe emosi dari unsur-undur psikologi sastra, yakni kegembiraan, cinta, marah, takut, cemas, dan lain-lain. Tipe-tipe seprti itu dikategorikan sebagai yang posotif, misalnya kegembiraan dan cinta sedangkan yang negative seperti marah, takut, cemas, dan lain-lain. Gambaran ini diberikan untuk melihat bagaimana konsep psikologi itu, dalam hal ini adalah konsep id-ego-superego. [3]
Hal tersebut berlaku dalam novel Atheis, dimana Tokoh Hasan digambarkan memiliki sifat dan emosional, seprti cinta, kasih sayang, takut, cemas, dan marah. Sifat  kasih sayang dari Tokoh Hasan muncul sebagai akibat dari baktinya terhadap orang tua, posisi Tokoh Hasan sebagai seoarang anak yang telah dirawat dan dibesarkan dengan penuh perjuangan oleh orang tuanya. Dengan orang tua yang masih utuh dan  dengan lingkungan yang baik, menyebabkan Tokoh Hasan memiliki rasa kasih sayang. Hal ini dapat dilihat
Sambil berkata demikian itu, tangan Ayah bergerak-gerak tak karuan seolah-olah hendak memeluk Aku, mengelus-elus rambutku seperti Aku masih kecil. Tapi rupanya ia insyaf, bahwa aku sekarang sudah dewasa, sudah tidak  bisa lagi dielus-elus seperti dahulu. Aku duduk bersila di hadapan Ayah. Tunduk. Air mata hendak mendesak ke kerongkongan (Atheis,24-25)
Dari kutipan diatas memperlihatkan bahwa Tokoh Hasan yang begitu kasih terhadap orang tuanya, segala apa yang diperbuat adalah untuk membahagiakan orang tuanya. Hingga air mata Tokoh Hasan ingin juga keluar karena respon dari kasih orang tuanya terhadap Tokoh Hasan itu. Rasa kasih sayang dari Tokoh Hasan muncul karena pengaruh dari lingkungan.
Rasa takut juga di hadapi oleh Tokoh Hasan. Sekalipun selama ini ia berkumpul dengan orang-orang yang Atheis, yang tidak percaya adanya Tuhan. Namun, ketakutan tetap menghampiri Tokoh Hasan, ia takut akan neraka dan siksanya. Seperti yang diceritakan oleh bibinya.
Rupanya perkataan “Atheis” itu, bunga layu itu dengan tiba-tiba sudah berubah manjadi seekor ular cobra yang tegak mendesis-desis hendak menggigit, “jangan! Janganlah sekali lagi saudara mengatakan, bahwa saya ini Atheis! Karena…………..(hening beberapa jurus. Kemudian dengan suara merendah) karena saya takut. Takut neraka! Dan  memang neraka itu ada. Saudara! Ada! (suaranya naik lagi)” , (Atheis, 185-186)
Rasa  takut bercampur sesal menghimpit pada Tokoh Hasan,  ketakutan dan penyesalan yang luar biasa mengakibatkan jiwanya patah dan tergoncang. Dimulai dari Ayahnya yang sakit keras karena memikirkan dirinya. Dalam batinnya dia berteriak Ayahnya sakit karena dia. Belum lagi penyakit TBC yang dideritanya serasa ia mau mati juga. Tokoh Hasan memberanikan diri untuk menjenguk Ayahnya yang terbaring sakit di rumah sakit, namun kehadirannya semakin memperburuk keadaan. Tokoh Hasan diusur oleh Ayahnya. Hatinya begitu pedih. Ketakutan dan  Penyesalannya serta goncangan jiwanya semakin menjadi. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan dibawah ini.
“kamu telah berdosa! Ayahmu sampai ma, karena tak tertahankan lagi penderitaanya memikirkan pendirianmu yang sesat! Kamu telah telah ingkar dari agamamu sendiri! Kamu telah pecat dari imanmu kepada Tuhan! Telah murtad! Kafir! Atheis!
Mendesing-desing suara itu, seolah-olah dalam lobang perlindungan yang gelap itu ada seorang yang berdiri di depan Hasan, menghardik dan mencela habis-habisan. Hasan memejamkan matanya lagi. Tidak berani melihatb apa-apa lagi. Tapi air matanya merembes diantara celah kelopak matanaya (Atheis, 217).
Dalam kutipan diatas juga dapat kita lihat, sebuah penyesalan yang disimbolkan dengan air matanya yang meleleh.
Dalam jiwa Tokoh Hasan muncullah dendam terhadap Tokoh Anwar yang telah membawa dia kepada jalan yang tidak benar. Hali itu dapat dilihat dari kutipan dibawah ini!
            “ Ya, si Anwar itulah yang menyesatkan daku…! … ya. Tapi aku sendiripun  bodoh. Aku bodoh. Karena aku selalu mudah dipengaruhi dan tak sanggup membikin keyakinan sendiri yang kukuh kuat!” (Atheis, 218).
           
    Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id,ego, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian itu atau sama lain salin berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar.[4]                          
Id menggerakkan individu untuk mendapatkan kepuasan dan kesenangan yang berasal dari rangsangan nafsu. Karena itu, pemuasan keinginan nafsu ini menjadi salah satu kebutuhan penting, tidak saja bagi atau lebih individu.[5] Dalam novel Atheis ini, Tokoh Hasan juga memilki dorongan nafsu. Tokoh Hasan yang biasanya menjaga diri dari berhubungan dengan wanita yang bukan muhrim, namun terjadi peristiwa yang tiba-tiba saat Tokoh Hasan dan Tokoh Kartini pulang menuju rumah masing-masing. Dari arah tikungan Hasan dan Kartini naik delman  muncullah mobil sedan  yang jaraknya begitu dekat, seolah menyerempat delman yang dinaiki Tokoh Hasan dan Kartini. Dan Kartini pun menjerit katakutan.
Aku tidak bisa lanjut. Hatiku berdegup tak karuan. Malukah aku, atau menyesal atau     malah cemas, karena aku sudah beradu kulit dengan seorang perempuan yang bukan     muhrim?. Entahlah, belum pernah hatiku berdegup demikian. Belum pernah aku m       merasa dihinggapi perasaan yang demikian dengan sehebat itu. Mamang hebat benar      pengaruh-pengaruh yang bekerja keras atas  diriku  pada malami itu: kesunyian malam , harum bedak dan minyak wangi dan selanjutnya masih terasa benar diujungj jari-jari dan telapak kedua belah tanganku keempukan buah dada Kartini. Ketika dia hendak jatuh terlentang ke dalam pelukanku. (Atheis,85)
Kutipan diatas memperlihatkan bahwa Tokoh Hasan. Sekalipun ia   seorang yang alim dan saleh, tapi tetap saja memiliki dorongan nafsu seksual. Sebenarnya nafsu itu bukan hanya nafsu seksual saja yang berorinetasi pda hal-hal negative. Tapi juga nafsu yang mendorong manusia untuk hal-hal kebaikan itu juga ada.                                      
          
     












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
    Berdasarkan analisis novel Atheis karya Achdiat Karta Miharja dapat disimpulkan bahwa Psikologi sastra dalam novel Atheis sangat kompleks. Hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada cerita yang ada novel. Tokoh Hasan sebagai tokoh utama yang benar-benar Nampak psikologinya. Dimulai dari tekanan batin yang ia alami dengan orang tuanya dan juga tokoh-tokoh yang lain yang ada dalam novel Atheis.
Dalam analisis psikologi ada unsur penting yaitu, id-ego-super ego.







DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta : Medpress..
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Gyem,  Kim Jang. 2012.Puitika “Jurnal Humaniora”, volume 8, No.1, Februari 2012 .
Miharja, Achdiat K. 2002.Atheis.Jakarta: Balai Pustaka.
Minderop, Albertin.2011.Psikologi Sastra.Jakarta: Yayasan Binyang Obor.
Siswanto, Wahyudi.2008.Pengantar Teori Sastra.Jakarta:Grasindo.



[1] Albertin Minderop,psikologi sastra, (Yogyakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 59.
[2] Suwardi Endraswara, metode penelitian psikologi sastra, (jakrta:MedPress, 2008) ., hlm. 179



[3] Kim Jang Gyem, puitika jurnal Humaniora, (padang: Jurusan Sastra Indonesia, Fkultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, 2012) hlm. 10



[4]  Suwardi Endraswara, metode penelitian  sastra, (Yogyakarta:Pustaka Widyatama, 2003) ., hlm. 101





Tidak ada komentar:

Posting Komentar